DAFTAR ISI
Petani cokelat menjadi harapan bagi perkembangan cokelat Indonesia. Munculnya petani milenium dalam ekspor biji kakao diperkirakan akan semakin gencar.
Webinar Krista dan Dewan Kakao Indonesia (11/8) telah membahas panjang lebar persoalan perkebunan kakao di Indonesia saat ini. Sejumlah pembicara dari berbagai bidang terkait cokelat hadir dalam presentasi tersebut.
Dwi Atmoko Setiono, Ketua Umum Dewan Kakao Indonesia, menjelaskan industri cokelat di Indonesia sedang bergerak menuju Industri 4.0. Diharapkan para pelakunya akan menggunakan Internet sebagai pendukung utama dalam proses produksi kakao.
Dia mengatakan, industri kakao memiliki prospek yang besar, apalagi Indonesia menempati urutan ketiga negara penghasil kakao terbesar di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana.
Hanya saja Dwi dan informan lainnya mengakui banyak tantangan yang dihadapi industri cokelat Indonesia saat ini. Apa saja tantangan ini?
1. Kondisi kebun kakao yang terkena dampak
Rendahnya hasil biji kakao menjadi tantangan utama saat ini. Endy Pranoto dari Kementerian Pertanian RI menjelaskan, hal ini dipengaruhi banyak hal.
Salah satunya adalah banyak tanaman kakao yang sudah tua, rusak, dan tidak produktif. Bahkan jumlahnya mencapai 31%. Faktor lainnya adalah pemeliharaan kebun biji kakao yang kurang intensif, fasilitas yang kurang memadai, inovasi teknologi yang kurang, dan kelembagaan petani yang lemah.
Arif Zamrouni, Ketua Umum Asosiasi Petani Kakao Indonesia, menjelaskan banyak terjadi alih fungsi lahan untuk perkebunan kakao. Di Jawa Timur, misalnya, lahan kakao berubah menjadi tebu. “Di luar Jawa, fungsinya diubah menjadi kelapa sawit,” katanya. “Di beberapa tempat, ada juga yang beralih fungsi menjadi Cingon.”
Arif juga menyoroti masalah perkebunan biji kakao yang sering terabaikan. “Banyak yang kering, tanaman yang terserang hama dan diserang binatang seperti tupai dan kera,” katanya. Semua ini berpengaruh pada rendahnya hasil kakao.
2. Banyak petani biji kakao yang sudah tua
Tantangan lain bagi industri kakao Indonesia saat ini adalah penuaan petani. “Rata-rata usia petani lebih dari 40 tahun,” kata Doi.
Diakui Arif, mayoritas petani biji kakao di Indonesia masih sangat tradisional. “Petani lebih dari sekadar sesuatu, tanpa memiliki posisi negosiasi yang cukup kuat,” katanya.
Karena sumber daya manusia (SDM) penanam biji kakao sudah ketinggalan zaman, mereka cenderung merugi secara teknologi. Sebagian besar petani kakao bahkan tidak mengetahui perkembangan biji kakao. Demikian disampaikan Agung Wahyu Susilo selaku Kepala Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (Buslitkoka).
3. Harga biji kakao sangat rendah
Rendahnya produktivitas biji kakao di Indonesia juga disebabkan oleh kurangnya semangat petani kakao untuk memproduksinya. Salah satunya karena harga biji kakao yang sangat rendah.
Arif mengatakan harga biji kakao terlalu rendah bagi petani. “Alasannya banyak, karena rantai (penjualan) panjang, mungkin karena petani hanya tahu harga tengkulak atau saat harga benar-benar rendah,” katanya.
Sebagai solusi, Arif menyarankan untuk membantu harga kakao di kalangan petani. “Bagaimana harga di tingkat petani harga optimal? Jangan serahkan harga di petani ke banyak rantai dan perantara,” ujarnya.
Andy mengatakan, petani biji kakao juga kurang berminat untuk meningkatkan nilai kakao itu sendiri. Mereka cenderung enggan melakukan fermentasi, padahal proses ini bisa menambah nilai jual biji kakao.
“Petani masih jarang mau memfermentasi kakao karena selisih harga yang tidak jauh dari penjualan kakao biasa. Tidak sebanding dengan usaha yang dilakukan,” kata Andy.
4. Upaya mendorong petani milenial
Untuk menjawab tantangan ini, para Petani cokelat menjadi harapan bagi perkembangan cokelat Indonesia bisa memiliki lebih banyak petani milenial. Kehadiran para Petani cokelat menjadi harapan bagi perkembangan cokelat Indonesia dapat membawa “angin segar” bagi industri biji kakao di Indonesia.
“Petani kakao Indonesia memiliki potensi besar. (Bersama) kita harus membuat petani maju, mandiri, modern. Semangat inovatif dan milenial,” jelas Doi.
5. Prospek biji kakao fermentasi di Indonesia
Petani cokelat menjadi harapan bagi perkembangan cokelat Indonesia mampu memberikan nilai tambah pada produk kakao Indonesia dengan melakukan proses fermentasi yang disebut Agung Widiastuti selaku direktur Kalimajari Corporation sangat efektif. Dimulai pada 2011 dan menurut Widia, proses ini tidak mudah.
Saat ini pihaknya telah berhasil mengekspor biji kakao fermentasi Indonesia ke berbagai negara. Biji kakao ini juga diolah sebagai produk cokelat berkualitas tinggi di Hong Kong, Swedia, Swiss, Italia, Belgia, Prancis, dan Belanda.